

Review Kurikulum Bersama Mitra Media, di Kampus Unisa Yogyakarta, Kamis (21/8/2025).
Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta terus berupaya menyelaraskan kurikulum pembelajaran dengan perkembangan dunia industri yang dinamis. Salah satunya, adaptasi pembelajaran pada mata kuliah jurnalistik sesuai dengan perkembangan industri media. Langkah ini dilakukan agar lulusan memiliki kompetensi yang relevan dan adaptif terhadap perubahan ekosistem media digital.
“Program Studi Ilmu Komunikasi perlu melakukan review kurikulum bersama mitra jurnalis untuk memastikan bahwa materi pembelajaran yang ada tetap relevan dengan dinamika industri media,” ujar Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Unisa Yogyakarta, Hari Akbar Sugiantoro, saat Review Kurikulum Bersama Mitra Media, di Kampus Unisa Yogyakarta, Kamis (21/8/2025).
Akbar mengungkapkan melalui keterlibatan langsung jurnalis, kurikulum dapat disesuaikan agar mampu melahirkan lulusan yang tidak hanya menguasai keterampilan abad ke-21, tetapi juga memiliki kompetensi profesional. Selain itu juga pemahaman etis, serta daya adaptasi tinggi terhadap perkembangan teknologi dan isu-isu global.
“Lebih jauh, lulusan juga diharapkan mampu mengimplementasikan pendekatan jurnalisme Islami, profetik, yaitu praktik jurnalistik yang berpijak pada nilai-nilai transendental, humanis, dan etis, sehingga setiap produk jurnalistik tidak hanya informatif dan kritis, tetapi juga membawa kemaslahatan dan keadilan bagi masyarakat,” ungkap Akbar.

Review Kurikulum Bersama Mitra Media, di Kampus Unisa Yogyakarta, Kamis (21/8/2025).
Review kurikulum bersama mitra media ini melibatkan Jurnalis Senior CNN Indonesia, Hendrawan Setiawan, kemudian Editor RRI, Mahadevi Paramita Putri. Selain itu juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Januardi Husin dan Wakil Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (AMSI DIY), Rendy Adrikni Sadikin.
Hendrawan memberikan gambaran bagaimana landscape media saat ini telah mengalami perubahan beberapa tahun terakhir, kondisinya pun sedang tidak baik, dari sisi ekonomi dan politik. “Secara umum kondisi media di tingkat global dan nasional dalam kondisi tidak baik-baik saja, dari sisi ekonomi dan politik,” ujar Hendrawan.
Tidak hanya dari segi industri media, jurnalis pun menghadapi berbagai tantangan. Oleh karena itu, Hendrawan memberikan sejumlah saran kompetensi yang harus dibutuhkan oleh mahasiswa ketika ingin menjadi jurnalis.
“Pertama perkuat basis jurnalistik, news value, 5W+1H, prinsip, elemen, regulasi, teknik wawancara dan seterusnya. Kemudian tingkatkan kemampuan menulis naskah, kompetensi teknis dasar audio visual, embrace technology. Jurnalis adalah profesi, maka kuasi etika, minimal dalam konteks Indonesia,” ujar Hendrawan.
Dirinya juga menekankan pentingnya soft skill mahasiswa, seperti berpikir kritis, menjaga kepercayaan diri, kemampuan bekerja dalam tim, termasuk menguasai kemampuan riset dan manajemen waktu. “Saran untuk metode pengajaran harus repetitif, adaptif, dosen bisa mempraktikkan ruang belajar seperti news room dan melakukan mentoring,” ucap Hendrawan.
Senada dengan Hendrawan, Rendy mengungkapkan perkembangan dunia jurnalistik saat ini pesat. Salah satu yang disoroti Rendy adalah perkembangan AI. Mahasiswa bisa mempelajari AI prompting, untuk merespons perkembangan yang ada saat ini. Meski demikian dirinya tetap menekankan etika dalam jurnalistik.
“Mahasiswa juga harus paham SEO (Search Engine Optimization), bagaimana seorang jurnalis bisa menyasar keyword tertentu, sehingga tingkat pembaca dari berita tersebut bisa tinggi. Tidak kalah penting, mahasiswa juga harus memahami bisnis media hingga homeless media,” kata Rendy.
Narasumber lainnya, Mahadevi menyoroti fenomena homeless media. Fenomena tersebut banyak ditangkap oleh jurnalis atau mantan jurnalis untuk mengembangkan medianya sendiri. Menurutnya homeless media bisa menjadi salah satu alternatif yang bisa dikembangkan.
“Selain influencer yang didominasi konten kuliner, fesyen, kecantikan, hiburan, ada fenomena homeless media. Ini potensial karena banyak diakses masyarakat, penyebaran lebih masif. Tentunya konten akan lebih berisi, apabila dikelola oleh orang yang pernah belajar ilmu jurnalistik atau memiliki background jurnalis,” ungkap Devi.
Sementara itu, Januardi Husin atau yang akrab disapa Juju menyinggung soal etika hingga value jurnalis. Menurutnya skill menjadi jurnalis bisa dipelajari dengan cepat, tapi tidak dengan valuenya. “Value tersebut yang sangat dibutuhkan di Ilmu Komunikasi,” ucapnya.
Juju menyebut bahwa saat ini jurnalis sudah tidak menjadi satu-satunya sumber yang bisa membuat informasi, tapi jurnalis masih menjadi salah satu yang mensupply informasi yang berkualitas. “The voice of voiceless. Bisnis dan media boleh berubah, tapi value tidak boleh berubah,” ungkap Juju.