Pembangunan Masyarakat a�?Bottom-Upa�? Perspektif Fenomenologi

Mega Ardina, M.Sc.
e-mail: mega_ardina@ymail.com
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas a�?Aisyiyah Yogyakarta (UNISA)

A�pembangunan masyarakat fenomenologi

Pembangunan masyarakat merupakan suatu hal yang vital dan sangat menentukan maju mundurnya suatu negara, baik dalam faktor politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Salah satu tujuan pembangunan masyarakat menurut Melkotee, dan Steeves[1], adalah untuk meningkatkan taraf hidup/kualitas hidup suatu masyarakat. Dengan adanya tujuan mulia dari pembangunan masyarakat tersebut, kemudian banyak bermunculan program-program pembangunan masyarakat baik yang disusun oleh pemerintah maupun swadaya.

Seiring dengan munculnya program-program tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, a�?Apakah program-program pembangunan masyarakat tersebut telah dapat meningkatkan taraf/kualitas hidup masyarakat?a�?. Fakta yang kemudian bermunculan sekarang ini adalah kegagalan-kegagalan program pembangunan, sehingga banyak pihak yang mulai merancang ulang konsep pembangunan untuk mengatasi kegagalan tersebut.

Kegagalan tersebut pada umumnya disebabkan oleh pendekatan dan strategi tingkat implementasi, dimana model pendekatan yang digunakan dari komunikator (sumber informasi) keliru sehingga mengakibatkan kurangnya partisipasi masyarakat. Selain itu teknologi yang dikembangkan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna, karena pendekatan komunikasinya belum mempertimbangkan aspek lokalitas.

Hal tersebut kemudian memunculkan pentingnya komunikasi dalam pembangunan masyarakat. Seperti pernyataan Everett M. Rogers (1985), bahwa komunikasi merupakan dasar dari perubahan sosial. Dalam komunikasi pembangunan menurut Melkotee, maksud atau tujuan dari komunikasi pembangunan adalah untuk memberdayakan masyarakat, dan membentuk pola kehidupan, atau kualitas hidup masyarakat (sub-sistem) berdasarkan sistem tertentu. Komunikasi dapat bersifat informatif (agar orang lain mengerti dan paham), maupun bersifat persuasif (agar orang bersedia menerima suatu paham).[2] Sebagai contoh, jika negara yang menganut sistem demokrasi, [seharusnya] komunikasi pembangunanA� yang diterapkan oleh negara tersebut berporos pada suatu empati[3] dan menitik beratkan pada hadirnya suatu ruang publik, diskursus atau penyampaian emansipasi masyarakat, sehingga interaksi terjadi pada kedua belah pihak (Negara dan masyarakat) dengan model pembangunan a�?bottom-upa�?.

Lain halnya dengan yang diterapkan oleh suatu Negara menganut sistem otoritarianisme, maka komunikasi pembangunan bisa jadi akan lebih banyak bersifat retorika atau propaganda yang persuasif, seakan-akan masyarakat diarahkan, bahkan dipaksa untuk menerima makna atau opini tertentu yang sifatnya lebih dekat dengan kebijakan pembangunan a�?up-bottoma�?, namun dalam tulisan ini pembahasan akan difokuskan kepada pembangunan model a�?bottom-upa�?.

Apabila berbicara mengenai a�?bottom-upa�?, penulis sepakat dengan prinsip terpenting dalam pengembangan masyarakat yang dikemukakan Haugh (2000) bahwa pengalaman masyarakat harus diakui dan digunakan sebagai titik awal bagi seorang pekerja masyarakat. Dalam merancang kebijakan haruslah memperhatikan, mendengarkan, lebih mengutamakan bertanya daripada memberi jawaban, serta mau belajar dari masyarakat. Menurut Ife (2008), pekerja masyarakat harus mengakui bahwa anggota masyarakat lebih mengetahui permasalahan mereka sendiri, dan proses pembangunan masyarakat adalah milik masyarakat, bukan milik agen pembangunan.

Dengan demikian perlu adanya suatu kesepahaman antara pemangku kebijakan dengan masyarakat, agar masyarakat dapat berswadaya secara mandiri. Penggunaan model pembangunan a�?bottom-upa�? tersebut tentu relevan dengan keadaan bangsa Indonesia saat ini. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Indonesia merupakan masyarakat plural yang tidak hanya terdiri dari satu ras, agama, status sosial, dan ekonomi. Telah banyak pengalaman yang telah dirasakan oleh bangsa ini yang berkaitan dengan konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ras, agama, sosial, dan politik, baik itu yang terjadi pada masa kolonial, orde lama, orde baru, hingga reformasi.[4] Oleh sebab itu dalam merancang pembangunan di Indonesia, para pembuat kebijakan perlu memperhatikan lokalitas masyarakat[5], atau jika boleh dikatakan sebagai a�?local wisdoma�?.

Seperti gagasan Ife dan Tesoriero, bahwa menghargai pengetahuan lokal, menghargai sumberdaya lokal, menghargai keterampilan lokal, dan menghargai proses lokal penting untuk dilakukan dalam model a�?bottom upa�?.

Dalam melaksanakan pembangunan model a�?bottom upa�? beserta gagasan-gagasan inti dari model tersebut, tentunya akan dibutuhkan suatu metode yang dapat memahami a�?local wisdoma�? secara detail dan menyeluruh. Dalam tulisan ini penulis akan mengajukan penggunaan ilmu fenomenologi.

Pengertian Fenomenologi menurut Kuswarno (2009) adalah ilmu yang mempelajari tentang suatu fenomena beserta pengalaman yang dirasakannya.[6] Ilmu Fenomenologi sebenarnya merupakan suatu pengembangan dari teori Immanuel Kant, dimana ia berusaha untuk mencari tahu asal-usul dan kebenaran ilmu pengetahuan hingga akhirnya ia berhasil mensintesiskan antara teori ilmu pengetahuan empiris (indrawi) yang erat kaitannya dengan pengalaman/fenomena, dengan ilmu pengetahuan intelek (rasio) yang erat kaitannya dengan akal/noumena.

Hasil sintesis Kant adalah bahwa baik fenomena maupun noumena saling mempengaruhi.[7] Meskipun pada perkembangan berikutnya banyak ahli-ahli fenomenologi yang kemudian mengembangkan teori sendiri, namun hal tersebut tidak akan dibahas dalam tulisan ini.

Dalam bukunya, Kuswarno[8] menyebutkan adanya suatu keterkaitan antara Fenomenologi dengan etika. Menurutnya Fenomenologi dapat menjadi semacam solusi untuk mempelajari dan menganalisis pengalaman subyek, yang di dalam pengalaman tersebut terkandungA� kehendak, penilaian, kebahagiaan, dan perhatian (simpati dan empati); karena memang Fenomenologi berpijak pada intersubjektivitas. Pemahaman mengenai pengalaman suatu subyek dapat memberikan a�?benang meraha�? kepada kita bahwa pengalaman dari subyek yang dipelajari adalah produk dari hubungannya dengan subyek lainnya.

Dengan menerapkan ilmu Fenomenologi kepada suatu kelompok masyarakat yang bermasalah, kita dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh mereka berdasarkan pengalaman mereka. Sebagai contoh kita dapat mengetahui kenapa pengemis mengemis; kenapa pencuri mencuri; mahasiswa yang berdemonstrasi melakukan tindakan vandalisme; atau kenapa anak punk dan golongan anarkis merasa terbuang dari masyarakat.

Dengan mengetahui berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat tersebut, diharapkan akan tumbuh suatu bentuk simpati dan empati, sehingga model pembangunan a�?bottom-upa�? dapat terlaksana. Apabila kita mengutamakan prinsip humanisme dalam pembangunan masyarakat seperti yang ditawarkan oleh ilmu Fenomenologi, paling tidak kita dapat mengasah suatu interaksi sosial dengan komunikasi sebagai intinya. Selain itu kita dapat menumbuhkan kesadaran sosial yang lebih baik, serta terciptanya masyarakat yang a�?well beinga�?[9] guna tercapainya pembangunan masyarakat secara menyeluruh.


Daftar Pustaka

Effendy, Onong Uchjana. 2007. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. PT. Remaja Rosadakarya, Bandung.

Fromm, Erich. 1994. On Being Human. Continuum Publishing. New York.

Hardiman, Fransiskus Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli samapai Nietzsche. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Haugh, E. 2000. Writing in the Margin: Critical Reflections on the Emerging Discourse of International Social Work. Masters Thesis Departement of Social Work. Master Thesis. Department of Social Work.University of Calgary. Alberta.

Huskens, Frans., dan Huub de Jonge (Eds.). 2003. Orde Zonder Order. LKIS. Yogyakarta.

Ife, John., dan Tesoriero. 2008. Community Development. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Irawan. 2008. Animal Ambiguitastis. Jalasutra. Yogyakarta.

Littlejohn, Stephen W. 2011. Teori Komunikasi. Salemba Humanika. Jakarta.

Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian. Widya Padjajaran. Bandung.

A�Melkotee, Srinivas R. 2006. Communication for Development in the Third World. Sage Publication. New Delhi.

Nordholt, Henk Schulte. 2002. Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Prajarto, Nunung. 2009. Psikologi Komunikasi. Penerbit Fisipol UGM. Yogyakarta.

Rogers, Everett M dan Shoemaker, F Floyd. 1981. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya.

[1] Melkotee, 2001: 34.
[2] Effendy, 2007: 9; dan Melkotee, 2001: 38.
[3] Prajarto, 2009: 12.
[4] Nordholt, 2002; Huskens, dan de Jonge, 2003.
[5] Ife., dan Tesoriero, 2008 241-260.
[6] Kuswarno, 2009: 1-28., dan
[7] Hardiman, 2004; Irawan, 2008; dan Kuswarno, 2009.
[8] Kuswarno, 2009.
[9] Fromm, 1994.