Perempuan, Sensualitas, Seksualitas Dan Komodifikasi Tubuh
Ketika Sebuah Gambar Harus Disensor

Perempuan: Sensualitas Dan Seksualitas Dalam Gambar

Bilamana dikatakan saat citra menjadi sekualitas, saat wajah menjadi sensualitas dan saat perempuan menjadi objek melalui bahasa-bahasa film yang selama ini kita kenal (lighting, bahasa, pengambilan gambar, dsb) sehingga akan lahir kata representasi. Perlu diingat komodifikasi dapat digambarkan sebagai perubahan fungsi/guna menjadi nilai tukar (Mosco, 2009:35) yang kemudian menjadi cara pandang, di mana media sebagai salah satu alat untuk menyampaikan informasi dan edukasi kepada masyarakat luas memiliki peranan yang sentral. Media mampu memberikan efek rangsangan yang mengarah pada pola konsumsi masyarakat, sehingga tercipta rasa ingin memiliki. Tidak jarang untuk kepentingan komersialitas sosok perempuan dijadikan obyek dalam konten media. Salah satu tugas kajian ilmu komunikasi adalah pembedah produksi makna, yang dimaksud di sini adalah bagaimana pesan atau teks dapat berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan sebuah makna. Dengan begitudalam konteks tersebut perbedaan asumsi atau suatu makna dalam proses komunikasi tidak dianggap sebagai kegagalan dalam proses komunikasi.

Semiotika sebagai metode analisis dalam kajian ini digunakan untuk mengetahui dan membedah tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah media (dalam hal ini: film) agar dapat diketahui lebih dalam konstruksi realitas apa yang ada dalam film tersebut. Sobur dalam bukunya menyimpulkan bahwa realitas yang sesungguhnya tidak dapat ditangkap oleh indera manusia karena realitas merupakan makna yang terdapat dibalik tanda, sehingga media melakukan pekerjaannya dengan mengkonstruksikan realitas dan dalam sebuah film dapat menilik bagaimana media tersebut membuat realitas serta menelaah adanya komodifikasi atau eksplorasi lainnya. Disisi lain adanya prasangka terhadap sebuah film menjadikannya lebih menarik. Prasangka dapat diartikan sebagai pernyataan/kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan/pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau kelompok tertentu dan selalu mengarah ke sikap negatif.

Seperti pada aplikasi teori Roland Barthes tentang gagasan two order signification yang berarti ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Contoh: Pohon beringin yang keramat (denotasi= makna yang sebenarnya atau kamus, konotasi = makna ganda yang lahir dari pengalaman budaya dan pribadi).

Pada kesempatan ini marilah kita sejenak bernostalgia dengan film yang berjudul Kawin Kontrak Lagi, sekuel dari film Kawin Kontrak karya Ody C. Harahap, yang dirilis tanggal 27 November 2008. Menariknya dalam film ini ada sebuah sistem yang dibangun atas dasar ketidaknyamanan dan ketidakberdayaan dari sisi ekonomi dan wanita sunda selalu menjadi obyek atau sesuatu dan mengalami pergeseran kebudayaan yang frontal dan terjadi pada kejadian kawin kontrak. Secara garis besar film ini mengangkat sosok perempuan Sunda sebagai perempuan yang aktifmelakukan kegiatan kawin kontrak.

Menurut Yasraf Amir Piliang dalam film jenis drama-komedi, tampilan fisik perempuan sebagai ilustrasiA� tampak menonjolkan bagian tubuh di hampir semua film sejenis ini. Perempuan didalam film jenis ini dieksplorasi dengan berbagai kemungkinan tanda, makna, dan kode sosialnya, serta berbagai potensi libidonya sebagai nilai tukar (Piliang, 2000:86).

Stereotip mengenai perempuan milik laki-laki dan harus bergantung pada laki-laki tampak sangat jelas tergambar dalam film-film sejenis ini. Konstruksi mengenai stereotip sifat perempuan yang pasif dan laki-laki yang aktif dalam wacana seksual tergambar dalam film-filmsejenis ini; sebagai contoh salah satu sinetron garapan Warkop yang diperankan oleh Jimmy Gideon dan Lidya Kandaou (nama yang sebenarnya), atau sinetron Jinni Oh Jinni dan sinetron boneka Poppy yang diperankan oleh Diana Pungky. Sosok perempuan dalam sinetron-sinetron tersebut diposisikan sebagai object of desire. Aktris perempuan berwajah cantik yang tampil dalam sinetron-sinetron ini diposisikan atau cenderung dijadikan sebagai objek seksual laki-laki di dalam lawakan atau obyek voyeurisme.

Dalam hal ini pembakuan standar mengenai penampilan fisik perempuan telah dilakukan melalui proyeksi perempuan di televisi dengan memfokuskan pada sisi penampilan tubuh perempuan yang dimuat dengan berbagai mistifikasi tanda dan makna(kulit putih, tinggi semampai, rambut panjang). Hal ini hampir berlaku umum di dalam sinetron komedi televisi di Indonesia. Stereotipisasi perempuan dilayar televisi mengenai peran mereka yang cenderung tidak dominan dan berada di dalam ruang domestik juga dapat dibaca melalui kacamata semiotika. Salah satu pembacaannya adalah dengan mengamati sudut pengambilan kamera atau segala bentuk penandaan yang terdapat di dalam film (teks, dialog, gestur) ketika melihat perempuan pada struktur adegan, plot dan karakter.

Carmen Luke di dalam tulisannya yang berjudul Reading Gender and Culture In Media Discources and Text ingin menunjukkan kepada kita tentang adanya konstruksi citra perempuan melalui stereotip yang dimunculkan oleh elemen-elemen semiotika dalam sinema televisi. Untuk menjelaskannya Luke menggambarkan konstruksi citra yang dibangun melalui elemen-elemen semiotika pada sinema televisi di dalam tabel berikut ini:

Elemen Semiotik Feminim Maskulin
Sudut Pengambilan Kamera Close up private space, Soft focus, Top down shoot small stature Long and wide: focus bottom up shoot large
Warna Pacing Pencahayaan sekunder, lembut, pastel, lambat a�� menonjolkan sisi dalam pribadi stature primer, gelap, metallic, cepat a�� terang mencolok menonjolkan sikap terbuka / orientasi keluar publik
Sounds Suara yang lembut, musik yang pelan Suara yang keras yang memiliki irama cepat
Luke juga melihat adanya pengukuhan stereotip perempuan sebagai kelompok yang lemah melalui konstruksi citra perempuan di dalam elemen-elemen naratif film. Ia memberi contoh kalau karakter perempuan di film sering digambarkan sebagai tokoh yang berkarakter tunggal, selain itu perempuan juga dikondisikan sebagai manusia yang penuh rasa toleransi terhadap lingkungannya. Ia digambarkan sebagai seseorang yang tidak mempunyai pendirian dan tidak bisa menjadi tokoh utama di dalam lingkungannya. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang berani mengambil keputusan dan melakukan sesuatu. Ia selalu berorientasi untuk bisa menjadi tokoh nomor satu di lingkungannya. Dalam setting cerita pun perempuan menurut Luke ditempatkan di ruang-ruang domestik (inside) sedangkan laki-laki di ruang publik (outside).

Penelitian mengenai konstruksi citra perempuan di televisi yang dilakukan Luke mempunyai banyak kesamaan dengan realitas sosial di Indonesia. Hal ini tidak mengherankan karena banyak sekali pembuat film di Indonesia melihat film-film mainstream sebagai referensi mereka. Stereotip perempuan yang diciptakan laki-laki selama ini memang telah membuat citra perempuan terlihat negatif oleh karena itulah diperlukan sebuah a�?perlawanana�? dari perempuan. Memang bukanlah hal yang mudah untuk merubah sebuah stereotip tapi bersikap kritis dan membuat tampilan perempuan yang melawan stereotip merupakan salah satu caranya.

Perempuan Sunda dalam film Kawin Kontrak Lagi digambarkan sebagai sosok yang tidak mementingkan ekonomi semata, tetapi lebih kepada bentuk eksistensi diri di manaa�?cantika�? itu berarti dapat menikah lebih dari satu kali, melalui kawin kontrak. Maka dalam penggambaran ini tersirat adanya politik tubuh, bagaimana tubuh perempuan digunakan didalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan pada konstruksi sosial/ideologi tertentu. Selain itu, bagaimana perempuan a�?diproduksia�? sebagai tanda (signs) dalam sistem yang membentuk citra (image), makna (meaning) dan identitas (identity) di dalam diri mereka (ekonomi politik tanda).Di sisi lain penggambaranjuga dapat melahirkan ekonomi politik hasrat (menampilkan perempuan di dunia citra, fisik, dan psikis) yang berkonsentrasi pada bagaimana hasrat perempuan disalurkan atau direpresentasikan di dalam berbagai bentuk komoditas khususnya komoditas hiburan. Dalam konteks ini media kemudian menjadi pengidentifikasi pembaca, penerjemah dan pendistribusian realitas. Dari dua hal tersebut dapat ditarik sebuah ulasan penutup tentang perempuan dan media dalam konteks yang lebih luas:

  1. Media massa masuk memberi tempat bagi proses legitimasi bias gender;
  2. Dalam aktifitas media, sangat sedikit kaum perempuan terlibat menjadi pekerja media;
  3. Kepentingan ekonomi dan politik menuntut para pemilik media tunduk pada industri/pasar yang memang lebih permisif terhadap citra yang tidak sensitif (gender);
  4. Regulasi media yang ada saat ini tidak sensitif gender (UU pers, UU perfilman dan kode etik jurnalistik) kurang memperhatikan secara khusus masalah perempuan dan media.

Dengan menangkap realitas dan menuangkannya ke dalam sebuah film, patut disayangkan posisi perempuan masih dalam pelabelan yang cenderung negatif, maka dalam hal ini setidaknya perlu mengingat kembali tujuh kesalahan media yang sering dilakukan diantaranya:

  1. Distorsi Informasi
  2. Dramatisasi fakta pada isu
  3. Menganggu privasi
  4. Pembunuhan karakter
  5. Meracuni pikiran anak
  6. Abuse the power
  7. Eksploitasi konten

Oleh karenanya catatan kecil ini mengingatkan bahwa, ketika terbit regulasi tentang sensor terhadap bagian tubuh tertentu, maka jangan sampai sensor tersebut justru menjadi pertanyaan yang terbentuk dalam benak masyarakat atau pengkonsumsi media, terutama posisi perempuan yang memiliki banyak terpaan.

Program Studi Ilmu Komunikasi UNISA (Universitas Aisyiyah) Yogyakarta memiliki perbedaan dengan Prodi Ilmu Komunikasi di kampus lain, salah satunya Prodi Ilmu Komunikasi UNISA juga mengkaji mendalam seputar gender dan perempuan.

Daftar Pustaka

Alex Sobur. 2004. Analisis Teks Media Cetakan 4. Bandung: Remaja Rosdakarya

Dina Listorini. Penggunaan model Diskursus dalam Antonius W

Kris Budiman. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik

Ratna Noviani. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan antara Realitas, Representasi dan Simulasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar& CSS

Yasraf Amir Piliang. 2000. Perempuan dan mesin: Hasrat Kapitalisme: Komodifikasi Perempuan dalam Program Hiburan media televisi. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan Pemerataan

Scopophopilia = kesenangan menjadikan orang lain objek yang bila dikendalikan (tampilan dan citranya) sehingga mengundang rasa ingin tahu yang bersifat seksualitas